Wednesday, July 28, 2010

Cerita Pendek

AKHIR YANG BAHAGIA
by Yosy K

TIDAK! Terserah apa katamu. Kau boleh mengumpatku atau menghina, memfitnah sesuka hatimu terhadapku. Tak pernah sebersitpun melintas di pikiranku untuk menyebabkan hubungan kalian berakhir. Merencanakannya pun tidak! Lelaki itu sendiri yang mengatakan padaku tentang keburukanmu. Tindakanmu yang tidak terpuji. Sebagai seorang temanmu, bahkan aku tak pernah mengatakan perkataan laki-laki itu padamu. Justru membelamu.
”Terima kasih. Kau memang orang yang baik, di depanku. Entah di belakangku”
“Apa maksudmu? Ada apa?”
“Sudah kubilang, terima kasih. Kau sudah bisa membuatku menangis semalaman”
”Menangis? Apa maksudmu? Sungguh aku tak mengerti?”
”Kau tak mengerti?! Sungguh pintar bersilat lidah. Kau membuka aibku padanya! Mengatakan tentang kejelekanku, dan menginginkan antara diriku dan dirinya berakhir. Kau tahu? Kau berhasil. Kau benar-benar berengsek!”
“Maksudmu antara kau dan Rino? Aku tak mengatakan apapun. Justru ia menanyakan padaku tentang hubunganmu dengan Firman. Rino tahu itu. Ia melihatnya sendiri 2 hari yang lalu. Ia mengatakan juga ingin memutuskanmu. Tapi sungguh, aku menasihatinya. Untuk tak melakukan itu padamu.”
”Itu hanya akal-akalanmu”
”Vero.....Tunggu!”
Kucoba untuk mengejarnya. Menjelaskan yang sebenar-benarnya terjadi. Tapi ia terus berlari, secepat mungkin. Dan menaikki kendaraan matic putih miliknya. Aku merasa bersalah. Aku tidak sebenarnya tidak mengatakan apapun pada Rino. Aku mengatakan sesuatu. Tapi aku melakukan itupun juga karena Rino sendiri yang memaksaku. Tak pernah aku menjelekkan Vero di hadapan laki-laki itu.
Kini, teman yang masih satu sekolah denganku sedang memusuhiku. Benar-benar tak enak. Ia adalah teman karibku. Namun sekarang membenciku. Aku seperti orang yang tersaingkan di kelasku. Vero menceritakan, menggembor-gemborkan bahkan sedikit menambah-nambahkan penyebab berakhirnya hubungannya dengan Rino. Tentu saja, aku yang disalahkan. Aku yang dipojokkan. Aku yang menjadi tersangka utama.
Aku duduk di bangku kedua deret paling kiri dari pintu masuk kelasku. Mencoba untuk bersikap tenang, meski sebenarnya hati ini agak takut dan menangis. Aku dijauhi. Aku tak dianggap. Padahal mereka tak sungguh-sungguh tahu apa yang terjadi. Bel istirahat berbunyi. Kulihat dari kursiku, di ujung sana, Vero bercakap-cakap riangnya namun sedikit menggebu-gebu. Penasaran menyergap pada pikiran dan hatiku. Aku beranikan diri mendekatinya dan mencoba untuk menyelesaikan kesalahpahaman diantara kami.
”Vero. . .Aku ingin mengatakan sesuatu padamu”
”Jika kau ingin menjelaskan masalah tentang kemarin, tak perlu repot-repot. Aku sudah tidak mau mendengarnya. Bisa saja itu hanya bualanmu”
Ia berjalan pergi menjauhiku. Pergi keluar kelas. Aku hanya bisa berdiri tak jauh dari tempat duduknya. Menundukkan kepalaku. Bingung bagaimana aku harus mengakhiri kesalahpahaman ini. Bingung harus mencari kebenaran atas perkataanku. Apapun yang kukatakan, pasti Vero tak akan mempercayainya.
Ya Tuhan. Cobaan apa ini? Selama tiga tahun bersekolah di sekolah menengah pertama ini, aku habiskan waktuku bersama Vero dan keempat teman-temanku. Belajar bersama, bergosip bersama, belanja bersama, menyontek pada saat ujian pun bersama-sama. Kami memang benar-benar sahabat yang tak terbandingkan. Tapi, kini? Vero memusuhiku. Apa enaknya belajar disini, di sekolah bergengsi ini, semewah ini, kalau teman-temanku pun menjauhiku? Tak masalah bagiku jika orang lain menganggapku jelek. Mereka memusuhiku, tapi jangan untuk sahabat-sahabat karibku. Jangan.
Tak terasa waktu pulang telah tiba. Aku berjalan ke gerbang depan. Menunggu jemputan yang biasa mengantarku. Aku berdiri dibawah -diantara dua pohon bringin besar. Angin semilir menyentuh sendi-sendi pada tubuhku. Menyegarkan diriku di panas hari siang itu. Menyegarkan pikiranku dari kemelut masalahku. Walau tak selamanya benar-benar menyejukkan, karena masalah itu sungguh telah menguras pikiranku. Salah seorang sahabatku mendekatiku. Berdiri di sampingku. Dan menanyakan tentang kebenaran kabar itu.
”Kau penyebabnya?”
”TIDAK. Mana mungkin aku setega itu pada Vero”
”Benar begitu?”
”Ya”
”Aku percaya padamu. Aku akan membantumu. Aku ingin kau dengan Vero sesegera mungkin berbaikan. Kita bersahabat karib yang tak tertandingi, bukan?! Aku tak mau kita terpisah. Lagipula, kita semua tahu, Vero mempunyai orang lain lagi selain Rino. Sudahlah. Yang penting, aku akan membantumu. Kau dan dia harus bertemu”
”Benar sungguh begitu?”
”Tentu. Ya sudah. Jemputanku telah datang. Sampai jumpa”
”Iya. Sampai jumpa”
Apa yang baru saja kudengar sedikit melegakan hatiku. Setidaknya, aku tak memikirkan masalah itu sendirian. Sahabatkupun sebenarnya masih sayang padaku. Menginginkan kesalahpahaman ini berakhir. Sungguh melegakan. Jemputanku tiba. Aku memasuki mobil itu, dan menyandarkan tubuhku pada kursi empuk dan menikmati angin yang keluar dari Air Conditioner dengan nyaman.
* * *
Waktu pertemuan antara aku dengannya telah diatur. Aku lebih mempersiapkan diriku. Membuat diriku untuk benar-benar setenang mungkin. Rileks dan tidak memperlihatkan ekspresi tegang, sedih, putus asa maupun ekspresi-ekspresi yang menyedihkan lainnya. Mengatur nafasku agar se-teratur mungkin.
Sebelumnya, aku telah menghubungi Rino. Menjelaskan apa yang terjadi. Tak berharap ia datang dalam pertemuan itu, hanya ingin tahu apa yang ia dengar dulu dariku. Agar aku yakin aku memang tak benar-benar bersalah dan juga, aku ingin tahu apa alasan dia memutuskan Vero. Vero datang. Sedikit terkejut, namun pada akhirnya ia mau juga untuk berbicara empat mata denganku. Aku memulai pembicaraan yang menegangkan itu.
”Siang itu, ia menanyakan tentang dirimu. Bukan melalu sms maupun telepon. Tapi melalui mig33. Tempat chatting favorit kita. Ia melihatmu dengan Firman berboncengan. Aku menyangkal dengan berkata itu bukan kau. Tapi waktu itu adalah kedua kalinya ia melihatmu dengan Firman”
”Dimana ia melihatku?”
”Di jalan belakang sekolah dan pada saat kau berada di rumah Lysha”
”Hemm...Ya. Aku rasa memang hari itu aku bersama Fiman”
”Jadi...?”
”Tapi tetap saja. Aku belum bisa memaafkanmu. Aku...”
”Dia tidak bersalah,Vero. Setidaknya tak hanya dengannya aku bertanya. Aku bahkan menanyakan langsung pada Firman. Kau pikir aku tak mempunyai banyak kenalan untuk tidak mendapatkan informasi apapun tentang selingkuhanmu itu?Ha?!”,sela Rino ditengah pembicaraan kami.
”Rino...”
”Cukup. Yang perku kau tahu adalah, dia tidak bersalah. Kau sendiri penyebabnya”
Rino mengakhiri perkataannya. Segera pergi meninggalkan tempat itu. Vero tetap diam di tempatnya ia duduk. Ia benar-benar terkejut. Tatapan matanya masih menyimpan amarah. Ia berikan tatapan itu pada mataku. Ia benar-benar marah. Ya Tuhan, ia semakin marah padaku. Oh tidak. Hari ini benar-benar bukan hari keberuntunganku. Sekali lagi, aku merasa dikucilkan. Teman-teman yang lain meninggalkan tempat itu bersama Vero. Tentu, hanya aku yang sendirian.
* * *
Aku menangis. Setidaknya aku merasa benar-benar kehilangan temanku. Aku tak bisa terusa-terusan di sekolah itu jika akupun dianggapnya musuh. Bagaimana bisa belajar dengan tenang jika membayangkan tatapan amarah Vero masih tertuju padaku? Bergerak dari tempat dudukku pun aku pasti tidak berani. Apalagi berinteraksi dengan teman-teman yang lain. Benar-benar sulit. Aku harus pindah sekolah. Ya, pindah sekolah.
Belum sempat mengutarakan maksudku kepada kedua orangtuaku, handphoneku berbunyi. Sebuah pesan singkat masuk. Pesan itu dari Vero. Ya Tuhan. Apa lagi ini?! Kubuka. Dari sms itu aku tahu bahwa Vero mengajakku bertemu di cafe tempat biasa kami menghabiskan waktu luang bersama-sama. Waktu dan tempat sudah jelas. Aku menarik nafas panjang, dan membalasnya. Aku tidak menolak.
Aku segera berangkat ke cafe yang dimaksud. Berada di ujung perempatan jalan. Cafe itu sungguh dipenuhi anak-anak remaja di waktu-waktu luang. Dengan penambahan fasilitas arena hot spot, membuat semakin ramai saja tempat itu ketika sore menjelang. Aku duduk di sofa melingkar, tempat yang telah dipesan oleh Vero. Disana ada juga keempat temanku.
”Maafkan aku..”
”Apa? Benarkah?”
”Ya. Kupikir aku benra-benar bodoh. Memusuhimu, padahal kau membelaku di hadapan Rino. Kita tiga tahun bersahabat. Seharusnya masalah sepele seperti ini tak membuat kita terpecah belah”
”Vero...”
”Jangan menangis”
”Ini tangisan bahagia. Aku tidak percaya ini”
”Kau harus percaya. Karena ini nyata”
”Benarkah? Cubit aku!”
Kemudian,tak beberapa lama pun, ia menyubit tanganku.
”Aduuuhhh... Sakit...Berarti ini nyata!”
”Hahaha. . Kau lucu sekali.....
Lalu kami pun berpelukan bersama. Saling menangis. Tangisan bahagia tentunya. Lalu memulai aktivitas kami seperti biasanya di cafe itu. Bergosip dan hunting makanan. Benar-benar menyenangkan.
Dua minggu kemudian, Vero mengabarkan bahwa Rino memaafkannya. Dan tak memikirkan lagi masalah antara dia dan Firman. Asalkan Vero dan Firman mengakhiri hubungan galap mereka. Jika bisa dibilang begitu.Hehe. Vero menurut. Mereka menjadi sepasang kekasih yang apa adanya sampai sekarang.
Akhir yang membahagiakan.

- THE END -

No comments:

Post a Comment